Pages

Sabtu, 12 Desember 2009

TAIZE, Pintu Masuk Ekumenis yang Peka Zaman

0. Pengantar

Hampir semua orang Kristiani pasti pernah mendengar mengenai Doa Meditatif Taize. Taize adalah nama dusun dimana Bruder Roger memulai mewujudkan gagasannya mengenai suatu komunitas murid Kristus. kini, gerakan Taize sudah mendunia. Indonesia tak luput dari perkembangan gerakan Taize ini. Banyak komunitas-komunitas doa Taize hidup dan berkembang. Taize menjadi suatu bentuk persekutuan ekumenis yang berada dalam bidang spritualitas. Tulisan ini akan mencoba mengulas Taize sebagi suatu persekutuan ekumenis. Untuk memperjelas ulasan, tulisan dibagi menjadi 3 bagaian, [1] sejarah, [2] Taize sebagai gerakan persekutuan Ekumenis, [3] kesimpulan: Taize dalam persepektif.

1. Sejarah: Perjalanan Bruder Roger

Berbicara mengenai Taize hampir tidak mungkin melupakan peran Bruder Roger. Beliaulah pendiri komunitas Taize. Bruder Roger mempunyai nama lengkap Roger Louis Schutz-Marsauche, lahir di Provence, Swiss 12 Mei 1915. Bruder Roger adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara pasangan Amelie Marsauche dan Charles Schutz. Ayah Bruder Roger adalah seorang imam Protestan dalam tradisi Lutheran. Bruder Roger ini mendapatkan perkembangan kehidupan spritualnya semenjak muda bersama dalam keluarganya[1].

Dalam umurnya yang ke-20, Bruder Roger berlajar teologi di Universitas Lausanne, mengikuti jejak ayahnya. Selama masa belajarnya, beliau bahkan pernah menjabat ketua organisasi mahasiswa kristiani. Dalam organisasi tersebut ditemuinya fakta sulitnya berkerjasama antara orang kristiani sendiri. Bahkan dalam berbicara mengenai Tuhan dan mencari Tuhan, orang-orang kristiani harus berselisih. Kemudian dimulailah kesibukannya memimpin pertemuan-pertemuan dan doa bersama dalam organisasi ini. Nampaknya, impiannya akan komunitas murid Kristus yang ideal mulai tumbuh dalam masa studi ini. Bahkan thesis yang disusunnya berjudul The Ideal of the Monastic Life before St. Benedict and its Conformity with the Gospel. Cita-citanya akan terbentuknya suatu komunitas biara yang mengabdikan diri pada perdamaian dan mendasarkan diri pada Allah nampaknya semakin jelas pada masa ini.

Bruder Roger di akhir studinya, bertekad untuk mewujudkan secara nyata teori abstraknya dalam kehidupan. Tahun 1940[2] menjadi tahun istimewa bagi Taize, karena pada tahun inilah Bruder Roger sampai Taize. Di dusun Taize, dekat dengan Cluny, beliau menemukan sebuah rumah yang akan dijual. Di tempat ini Buder Roger belum mempunyai komunitas, ia masih hidup menyendiri layaknya para rahib dahulu. Ternyata, Taize menjadi tempat cocok untuk pengungsian para pelarian politik, sebab tempat ini dekat dengan garis demarkasi yang membagi Prancis menjadi dua. Di rumah tersebut Bruder Roger menerima dan menyembunyikan para pelarian (kebanyakan orang Yahudi yang dikejar kejar Nazi)[3].

Tahun 1942-1944 dia meninggalkan Taize karena aktifitasnya melindungi para pelarian diusik oleh tentara Jerman. Pada periode ini, ia kembali ke Swiss, bahkan sempat melanjutkan ujian tesisnya pada bulan April 1943. Di universitas tersebut Bruder Roger memperkenalkan cara hidupnya kepada teman-teman dari lingkungan studinya. Sampai pada akhirnya saat kembali ke Taize tahun 1944, Bruder Roger ditemani 3 saudaranya yang punya niat sama. Tahun 1949, tujuh orang Bruder yang pertama menyatakan tekad hidup membiara selama hidup; hidup selibat; penerimaan atas tugas pelayanan dari prior (yang pada waktu itu adalah Bruder Roger); pemilikan bersama atas barang jasmani dan Rohani[4]. Sejak itulah Bruder Roger bersama-sama dengan saudara-saudaranya membangun suatu komunitas di Taize. Tahun 1961 mulai bergabunglah orang katolik dalam komunitas ini. Anggota komunitas ini kini tidak terbatas dari Eropa saja, namun juga dari berbagai belahan dunia.

Semenjak tahun 1957, komunitasTaize mulai menyambut orang-orang muda. Dari tahun ke tahun semakin banyaklah kaum muda (dan juga kaum tua) mengunjungi Taize. Desa kecil tersebut menjadi oase bagi orang-orang yang kehausan dalam padang kehidupan yang semakin rumit dan gersang ini. Taize tidak berhenti menjadi sebuah nama dusun, namun menjadi gerakan persekutuan Ekumenis yang menyebar ke pelosok dunia. Komunitas-komunitas Ekumenis yang berakar dari doa-doa Taize tumbuh di banyak negara. Tanggal 16 Agustus 2005 silam, Bruder Roger menghembuskan nafas terakhirnya. Namun semangatnya masih mengalir dalam komunitas Taize dan juga persekutuan-pesekutuan doa Taize di berbagai negara.

2. Taize sebagai gerakan persekutuan Ekumenis

Komunitas Taize yang mampu menerima semua macam Gereja akhirnya menjadi model bagi gerakan-gerakan Taize di banyak tempat. Taize menjadi suatu persekutuan doa yang mencoba memaknai doa dan ritual keagamaan sehingga hubungan personal antara manusia sebgai individu dengan Allah menjadi semakin efektif dan efisien. Kini nama Taize tidak lagi melulu menunjuk pada suatu dusun kecil di negara Perancis, namun dikenal sebagai suatu persekutuan doa meditatif yang bersifat ekumenis.

Dalam bukunya Semoga Mereka Bersatu agar Dunia Percaya, Br. Roger menyampaikan beberapa prinsip yang harus menjadi inspirasi dan bimbingan menuju ekumenis sejati: [1] Dialog. Dalam dialog, orang berusaha memberi jawaban kepada lawan bicara sesuai dengan cara berpikirnya.dengan dialog, dapat dihindarkan pola pikir sempit dan hanya sesuai apa yang diketahui sepihak saja. Sejarah telah mencatat, ekumenis tidak pernah jalan saat masing-masing pihak membawa pemikiran dan gagasannya pribadi, tanpa mau mencoba mengerti pihak yang lain. Br. Roger menambahkan prisip cinta kasih dalam usaha dialog menuju ekumenis sejati.

[2] Tujuan yang murni. Dialog harus terjadi secara tulus, tanpa banyak tendensi dan muatan banyak kepentingan di dalamnya. Pada dasarnya, semua umat Kristen adalah satu, karena Tuhan telah memberi tugas yang sama. Namun dalam perjalannya, tugas tersebut diterjemahkan dalam banyak kerangka pikir sehingga terjadi penyelewengan dari semangat ekumenis.

[3] Doa. Bagi Br. Roger jelas, tanpa adanya doa, gerakan ekumenis hanya menjadi suatu gerakan yang hampa dan kering. Doalah yang akhirnya memberi semangat baru untuk terus maju dan berkembang dan untuk terus saling mencintai. Doa akan membawa kesadaran kembali bahwa Gerja adalah suatu kesatuan suci, bukan melulu sosiologis maupun politis.

[4] Kesabaran. Doa dan tindakan harus dilandasi sikap sabar. Hanya Tuhanlah yang mempunyai jalan, bukan manusia yang mendikte kehendaknya kepada Tuhan. Sikap kepasrahan dan kesabaran nantinya akan membawa pada keteguhan hati.

[5] Batin yang sederhana. Semua orang kristen, entah seorang ahli kitab, ahli teologi maupun orang awam yang sungguh-sungguh sederhana mempunyai panggilan ekumenis yang sama. Br. Roger hendak mengajak kembali orang kristen untuk memberikan ketulusan dalan menjalin ekumenis. Kesederhanaan ini diterapkan dalam doa Taize yang dikembangkannya.

Prinsip-prisip inilah yang dipegangnya dan dijadikan modal dasar dalam mewujudkan mimpinya tentang ekumenis. Akhirnya, gerakan Taize menjadi suatu bentuk nyata persekutuan ekumenis yang dengan cara barunya mendasarkan diri pada spritualitas hidup doa. Gerakan ini sampai saat ini dimotori dan digawi dua unsur utama: musik dan komunitas. Musik menjadi tempat universal bagi semua jenis gereja. Akhirnya nada dan nyanyian menjadi bahasa universal dalam memuji Tuhan. Sedangkan Komunitas para Bruder Taize menjadi suatu kesaksian nyata kehidupan ekumenis.

2. 1. melantunkan doa Taize

2. 1. 1. Doa dan musik Taize

Bruder Roger mengajak orang untuk secara jujur dan tulus kembali bertemu dengan Allah. Ketulusan dan kejujuran tersebut pada awalnya hidup dalam situasi praktis, memberikan tenaga pada korban-korban perang, kini semakin diwujudkan dalam sikap keterbukaan Ekumenis. Doa Taize diterima dalam hampir semua kalangan umat kristen. Doa-doa Taize menjadi perwujudan nyata ajakan Bruder Roger untuk bersama-sama sebagai saudara bertemu Allah. Doa-doa Taize menjadi kekhasan persekutuan doa ini, sebuah doa yang berbentuk singkat dan sederhana sehingga mudah diingat. Disamping itu, bentuknya dalam nyanyian singkat sangatlah mudah diikuti, bahkan oleh orang-orang sederhana. Nyanyian doa-doa tersebut dibawakan dalam suasa meditatif penuh keheningan.

Kesederhanaan doa Taize yang singkat tersebut ternyata menjadi semacam ‘mantra’ yang manjur untuk berdoa. Sisi afeksi peserta lebih disentuh daripada doa liturgi resmi Gereja yang panjang dan berbelit-belit. Seperti orang muslim berzikir, orang Katolik ndremimil berdoa rosario, demikian juga orang berdoa dalam gaya Taize. Kesederhanaannya membawa suasa meditatif. Suasana meditatif tersebut menjadi wahana yang efektif bagi suatu doa. Bruder Roger mengajak orang untuk bersama-sama menuju Allah dengan kepenuhan hatinya. Karena kesederhanaannya itu pula, nyanyian-nyanyian Taize dapat diterjemahkan dalam berbagai bahasa dari berbagai negara. Dengan demikian dapat menyapa semakin banyak orang dengan masing-masing bahasanya.

Dalam pengalaman penulis, bentuk doa Taize yang meditatif tersebut menjadi wadah bagi banyak persekutuan ekumenis di banyak tempat. Salah satu tempat yang subur dengan persekutuan doa Ekumenis adalah universitas-universitas. Dalam kegiatan kemahasiswaan, persekutuan doa Taize menjadi wadah berkumpulnya kaum muda dari segala macam gereja. Berbekal alat musik yang sederhanapun, misalnya gitar, doa Taize dapat dilambungkan bersama. Doa meditatif yang dibungkus dengan kesederhanaan tersebut secara ajaib menarik kaum muda. Banyak pendapat mengatakan kaum muda sekarang adalah generasi MTV yang serba ramai jauh dari suasana meditatif dan serba cepat-tidak sabaran penuh suasana instant. Namun yang terjadi masih sangat banyak kaum muda yang tertarik dengan model doa Taize. Tidak hanya di Taize sana, namun juga di banyak tempat.

2.1.2. Persaudaraan dalam Taize

Walaupun doa Taize ada dalam suasana meditatif, namun persekutuan Ekumenis Taize juga mendapatkan bentuknya. Bukan berarti dalam persekutuan doa yang sangat hening tersebut, hening pula persaudaraannya. Setiap tahun, ratusan ribu kaum muda berkumpul dalam satu persaudaraan di Taize. Masing-masing datang dengan kekhasannya berbaur dan berbagi dalam kehidupan. Demikian juga dengan bentuk persekutuan doa Taize yang akhirnya berkembang ke pelosok dunia.

Tidak dapat dipungkiri, doa Taize menjadi tempat pertemuan kaum muda (juga kaum tua) untuk saling berbagi. Bentuk persaudaraan, persekutuan, paguyuban inilah cita-cita Taize. Persatuan (tidak dalam arti institusional) menjadi perspektif dari Taize yang masih sangat mungkin untuk diperkembangkan. Kesempatan doa bersama ala Taise menjadi peluang suatu pertemuan banyak perbedaan dalam Gereja. Misalnya, dalam praktik doa Taize hampir selalu dipelopori oleh kaum muda dan mereka jugalah yang mempersiapkan segala sesuatunya. Orang-orang yang punya minat sama ini disatukan dalam satu kebutuhan, kebutuhan untuk bersama-sama bertemu Allah. Kesibukan-kesibukan inilah yang memungkinkan terjadinya persaudaraan yang sesungguhnya dalam doa Taize. Akhirnya, melantunkan sebuah doa Taize tidak bisa lepas dari sisi kebersamaan. Kesadaran akan kebersamaan itulah nada-nada indah doa Taize.

2. 2. menggali Kitab Suci

“Jesus remember me, when you come into Your kingdom.”

“Yesus Ingat aku saat Kau masuk K’rajaan-Mu”[5]

Bila kita mencermati teks-teks doa Taize, sangat banyaklah kutipan Kitab Suci yang dipakai. Doa Taize tidak memuat rumusan-rumusan teologis suatu aliran gereja tertentu, namun secara singkat dan sederhana menggunakan teks Kitab Suci. Melalui Kitab Suci orang disapa langsung dengan sabda Allah dan dihantar dalam kehadiran Kristus. Nampaknya, gerakan kembali ke sumber inilah yang menjadi kekuatan persekutuan Taize dalam usaha persatuan. Atas dasar Kitab Suci pula, akhirnya Taize diterima hampir oleh semua jenis Gereja. Tanpa banyak memikirkan perbedaan dan perselisihan, Taize menjadi tempat pertemuan semua orang beriman.

Bruder Roger dan komunitas Taize memang tidak bermaksud mendirikan suatu jenis Gereja sendiri, mereka tidak hendak membentuk suatu denominasi baru. Dengan semangat dasar persatuan dan kedamaian manusia, mereka hendak menyumbangkan suatu spritualitas baru. Disebut baru karena memang mereka hendak mencoba mewujudkan gagasan akan kesatuan umat beriman dalam kehidupan konkret. Disebut spritualitas sebab mereka tidak bermaksud menarik orang untuk masuk dalam institusi mereka, namun bersama-sama hendak menemukan Yesus dalam dunia nyata[6].

Kitab Suci menjadi sumber yang tidak habis digali untuk persekutuan ini. Dengan kesederhanaannya, komunitas Taize tidak mau jatuh dalam perdebatan teologis namun hendak mengajak umat manusia kembali ke ruang batinnya bertemu dengan Allah. Dengan demikian, Taize menjadi suatu gerakan persekutuan Ekumenis yang bersifat spritual. Taize tidak mengajak orang untuk berdiskusi, namun berdoa bersama. Taize tidak mengajak orang untuk memikirkan perbedaan, namun untuk bersama-sama menuju Allah.

3. Kesimpulan: Taize dalam perspektif

Persekutuan doa Taize yang diperkenalkan para Bruder Taize mempunyai sejarah panjang. Taize mengalami banyak perubahan dan perkembangan dalam masing-masing daerah. Sebagai persekutuan doa ekumenis ada dua hal yang nampaknya bisa menjadi peluang dan juga tantangan ke depan.

3.1. Taize dalam ciri masing-masing Gereja

Di Indonesia juga banyak berkembang komunitas-komunitas Taize. Dalam perjalanannya, ternyata juga muncul variasi-variasi dari bentuk doa Taize. Doa meditatif Taize mengalami beberapa penyesuaian dan juga perkembangan seturut dengan kepentingan dan keperluan dari jemaatnya. Hal ini patut disyukuri, ada semangat persaudaraan yang dibangun melalui doa Taize. Tidak jarang komunitas doa Taize dibangun lintas Gereja.

Namun demikian, kalo tidak hati-hati muncul pula gerakan yang “kehilangan” semangat ekumenis. Sebagai contoh di Indonesia, atau di kota Yogyakarta ini Taize juga tidak jarang hanya dilakukan di dalam lingkaran umat Gereja yang sama. Selain itu, bisa juga terjadi suatu ibadat Taize digubah sedemikian rupa sehingga sangat khas Gereja tertentu. Misalnya, sewaktu penulis menjalani masa Tahun Orientasi Rohani di Semarang, ibadat Taize kami mengalami perubahan. Dengan mantapnya, kami menambahi unsur adorasi bagi Sakramen Mahakudus. Memang bagi umat tertentu, perubahan dalam ibadat Taize akan semakin membantu penghayatan. Namun bila hal ini tidak disadari, Taize sebagai suatu bentuk persekutuan doa Ekumenis kehilangan daya pemersatunya bagi semua beriman.

Salah satu hal yang harus selalu disadari adalah kedekatan gerakan Taize dengan tradisi hidup monastik. Pembaharuan para rahib untuk kembali ke sumber dan menghayati dan mengembangkan sisi spritualitas hidup beragama sangat dekat gerakan pembaharuan Taize. Tradisi hidup monastik sendiri dapat dipandang sebagai semacam jawaban atas situasi Gereja waktu itu yang serba sosiologis dan politis. Maka gerakan Taize juga menawarkan gerakan yang bersifat spiritual. Oleh sebab itulah, maka tidaklah mudah membawa unsur institusional ke dalam gerakan Taize. Hal ini harus disadari. Bisa jadi dalam praktiknya, karena diarasa besar dan beranggotakan banyak orang makan Taize masuk ke dalam institusi yang tidak lagi dinamis. Tegangan inilah yang selalu ada dalam prospektif Taize: bagaimana gerakan ekumenis ini hidup dan memberi kesaksian hidup dalam doa dalam Gereja tetap ada dalam jalurnya yang spritual dan selalu terbuka akan pembaharuan.

3. 2. Taize sebagai peristiwa Tabor penuh kemuliaan.

Para peziarah yang mengunjungi Taize sampai saat ini masih sangat banyak. Ratusan ribu kaum muda kembali ke ruang batinnya masing-masing di Taize, setelah beberapa lamanya mengalami hiruk pikuk dunia. Kegalauan para muda ini ditangkap Bruder Roger yang dengan setia menemani dan memberi semangat bagi mereka yang hendak minum air dari sumber yang tak pernah kering. Persekutuan doa Taize memang tidak dapat dipungkiri menjadi sebuah mukjijat di zaman ini. Banyak sekali orang terbantu dalam permasalahannya, kegelisahannya, kerisauannya melalui doa Taize.

Demikian pula dengan gerakan-gerakan Taize lokal. Persekutuan-persekutuan ini akhirnya menjadi tempat menimba kembali semangat hidup dalam Yesus Kristus. Taize menjadi sarana orang untuk kembali bertemu Yesus Kristus dalam kehidupan nyata. Hal ini semakin jelas dalam kehidupan kaum muda yang sedang risau menghadapi zamannya.

Bagi Bruder Roger, perubahan hanya bisa dimulai dari dalam hati. Ketika seorang tergerak hatinya oleh Roh Kudus, maka dia akan dimampukan untuk semakin mewujudkan harapan hidupnya. Di titik inilah, nampaknya Taize bisa disalahartikan dalam praktiknya. Bila tidak kritis, Taize bisa menjadi semacam gunung Tabor yang melenakan orang untuk kembali menekuni hidup. Seperti layaknya orang sedang mengalami kegembiraan, kesadaran akan kehidupan nyata harus terus ada. Sang Sumber akhirnya harus kembali dialirkan dalam kehidupan nyata masing-masing orang. Pengembangan persekutuan ini bisa dibawa tidak hanya sebatas perkumpulan doa (walau berdoa bersama juga sama pentingnya), namun bisa diarahkan pada kehidupan nyata. Misalnya pada panggilan kemanusiaan maupun mensikapi realitas sosial.

Pada ponit ini pula Taize sampai pada situasi rawan. Bila tidak hati-hati panggilan kemanusiaan dalam gerakan Taize menarik lebih banyak energi dan perhatian daripada semangat dasar Taize. Doa sebagai motor utama Taize tidak bisa begitu saja digantikan maupun direduksi dalam tindakan moral-sosial. Taize selalu dalam tegangan inilah dalam prospeknya: bagaiman Taize menjadi gerakaan ekumenis yang mendasarkan diri pada spritualitas doa sekaligus peka dan tanggap atas tuntuntan zaman, seperti halnya Br. Roger merawat dan memberi tumpangan para korban perang.

-=[~W~]=-

Daftar bacaan:

Balado, J.L.G.,The Story of Taize,Mowbray, London, 1981

Billy, Dennis J., A Visit to Taizei dalam Review for Religion, 1996

Evans, Michael, Learning form Taizei dalam Priest and People: 2002

Roger, Br., Sumber-sumber Taize-Tiada Kasih Yang lebih Agung, Kanisius, Yogyakarta, 2004

Sastra, Perdana, Bruder Roger dari Taize: Saluran Kasih Kristus dalam HIDUP: September 2005.

Schultz, Roger, Aturan Hidup Taize, Puskat, Yogyakarta, 1973

--------------------, Parable of Community: Basic Texts of Taize, Mowbray, London, 1980.

--------------------, Semoga Mereka Bersatu agar Dunia Percaya, Nusa Indah, Ende, 1978

Simmonds, G., The Spirituality of Taize Chantsi dalam Supplement of the Way: 1990.

Turner, Kathryn, Taize’s quite Miracle dalam Tablet: 25 Sept. 2004

Penulis:

Dominicus Donny Widiyarso, Pr: Pastor Pembantu di Paroki Karanganyar, Surakarta.



[1] Bruder Roger sangat mengagumi ketulusan dan orisinalitas orang tuanya dalam beriman. Bruder Roger pernah berkata, “Aku yakin ayahku sebetulnya seorang mistikus dalam hatinya. Tiap hari dia berdoa di kapel sendirian. Saat umurku 12 tahun, aku melihatnya berdoa pula di gereja orang katolik.”

[2] PD II sudah dimulai 1939

[3] Bruder Roger terinspirasi oleh neneknya yang juga membantu para pengungsi dalam PD I

[4] Bruder Roger, Sumber-sumber Taize: Tiada Kasih yang lebih Agung, Kanisius, Yogyakarta,2004, hlm. 96.

[5] Lagu Taize dalam ritme ¾ ini diambil dari Luk 23:42

[6] Bruder Roger, Sumber-sumber Taize: Tiada Kasih yang lebih Agung, Kanisius, Yogyakarta,2004, hlm. 9

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger